Bus terpaksa parkir didepan PLN,sebab ga bisa masuk . Akibatnya 25 orang harus jalan kaki dari jalan kaliurang hingga warung.
Dengan latar belakang perjuangan begini, sebagai penyeduh tidak boleh panik, tidak boleh gusar. Ambil nafas panjang, berfikir jernih dan yang paling penting memastikan semua yg datang menggunakan masker. Udah itu saja.
Mengidentifikasi setiap orang maunya kopi atau non kopi ? yang kopi maka kami selesaikan dulu, sebab dengan ruangan seduh 2×2 ga bisa bergerak leluasa menerima order langsung banyak. Maka harus bertahap, ingat jangan panik itu saja.
Hal begini ga bisa kami jelaskan detail, sebab hal2 begini hanya bisa dijalani, hanya bisa dihadapi…termasuk sekali seduh 9 koka sekaligus.
Pointnya bukan itu, pointnya adalah dengan perjuangan mereka yg datang begini, kami harus tampil semaksimal mungkin. Ga hanya melayani swafoto, tapi juga harus siap berbagi soal apapun, soal tanaman, soal gimana cara seduh hingga soal cara membuat rumah. Setiap orang punya pertanyaan yg beda-beda dan random. Jadi, sebagai penyeduh tidak hanya teknis, tapi juga mengetahui harga cabe yg mulai naik pelan-pelan.
Tidak hanya itu, bahwa yg pulang dari setelah berkunjung ke warung tidak hanya membawa pengalaman rasa, bukan hanya foto, tapi lebih dari itu adalah punya “imajinasi ” bahwa konsep warung rumahan seperti kami bisa hadir di kota2 kecil atau di kabupten bahkan kecamatan. Karena kami hanya rumahan, maka konsep kami bisa diaplikasi, bisa jadi blue print.,.bahwa warung kopi tak melulu tembok putih, lampu sorot, tempat duduk semen panjang dan colokan dimana-mana.
Bisa dengan lahan yg sangat terbatas bahkan bus saja ga bisa masuk gang , tapi punya sesuatu yg beda.