Suatu Sabtu di bulan Juni, matahari sudah meninggi, 15 peminum kopi sudah bersiap untuk berangkat dari Klinik Kopi menuju Desa Lencoh, Selo, Boyolali. Kebanyakan mereka adalah mahasiswa, ada pula yang dosen, wiraswasta, siswa sekolah tani dan juga dua peminum kopi yang masih pelajar kelas 11 (kalau yang sekolah di jaman orba nyebutnya ‘kelas 2 SMA’). Juga hadir dua mahasiswa asal Amerika Serikat yang sejak dua minggu lalu ikut kuliah di UGM dan melakukan penelitian tentang kopi. Kami menyebut perjalanan bersama ini sebagai “Trip Panen Kopi”.
Rombongan ini ke Lencoh untuk melakukan panen kopi. Mungkin mereka telah terbiasa menikmati kopi Lencoh di Klinik Kopi, tapi mereka jarang melihat sendiri kebun kopi dan memetik buah-buah ranum yang siap di panen. Bukan hanya ingin berbagi dengan peminum, dalam perjalanan ini Klinik Kopi juga mengusung misi mulia lainnya, yaitu mengedukasi petani di Lencoh untuk lebih paham tentang kopi mulai dari rasa hingga proses panen dan pasca-panen kopi yang baik. Sesampainya di Lencoh, peminum kopi dari Semarang, Solo, Klaten dan Jogja -yang berangkat tak bersama rombongan- pun bergabung bersama kami. Sehingga total peserta trip kali ini berjumlah 25 orang.
Awal Menemukan Kopi di Lencoh
Jogja dan Lencoh sebenarnya tak terpisah jarak yang jauh, hanya dihalangi gunung Merapi diantara mereka. Jogja berlokasi sekitar 20 km selatan Merapi, satu setengah jam berkendara menuju Lencoh melewati rute Blabak-Magelang. Sedangkan Desa Lencoh hanya 4 km dari puncak Merapi di sisi utara, menjadikannya desa terdekat dengan puncak Merapi. Hampir setiap hari ada banyak pendaki melintasi Lencoh untuk memulai pendakian. Butuh sekitar 4 jam untuk mencapai puncak.
Ada sekitar 4 orang warga Lencoh yang melakoni profesi sebagai pemandu wisata khusus trekking gunung Merapi. Salah satunya adalah Pak Wondo, yang juga paling bertanggungjawab mempertemukan para peminum kopi ini dengan petani Desa Lencoh. Pak Wondo adalah perantara kami. Dari tangannya kopi-kopi Lencoh tiba di Klinik Kopi. Pertemuan pertama kami kali itu tanpa sengaja, Pak Wondo -yang bekerja sebagai pemandu- mengantarkan tamu yang ingin ngopi ke Klinik Kopi. Saat itu Pak Wondo tertegun dengan rasa kopi yang ia minum; ini sama sekali beda dengan kopi yang biasa ia minum. Kemudian Pak Wondo bercerita kalau di sekitar desanya ada banyak pohon kopi. Dia bertanya, apakah kopi dari desanya bisa dibikin jadi seenak kopi yang ia minum di Klinik Kopi? Seminggu kemudian Mas Pepeng, pemilik Klinik Kopi, mengajak empat peminum untuk survey ke Lencoh. Desa Lencoh sungguh desa yang indah, ke arah selatan tampak gundukan pasir dan batu di puncak Merapi. Ke arah utara tampak Gunung Merbabu. Di celah dua gunung ikonik ini masyarakatnya banyak yang bertanam sayuran dan juga tembakau pada kemarau.
Kopi di sini tidak ditemukan layaknya kopi di tempat lain yang ditanam menjadi kebun kopi. Di sini kopi tampak seperti pohon yang tumbuh liar di pekarangan rumah dan pematang sawah. Mereka menemukan sekitar 40-an pohon kopi yang tersebar di banyak lahan. Ada beberapa warga yang punya satu hingga empat tanaman kopi. Yang terbanyak ada 20 pohon yang ditanam di sederet pematang sawah.
Tanah di Desa Lencoh ini sangatlah subur. Dampaknya ke tanaman kopi juga sangat luar biasa. Di sewajarnya tanaman kopi, kopi muncul segerombol-segerombol di ketiak-ketiak daun di dahan kopi. Ketika dikelola pada perkebunan kopi, anakan dahan selalu dipangkas supaya buah di dahan utama tumbuh lebih optimal. Kopi di Lencoh tak tumbuh seperti itu; buah kopi memenuhi hampir sepanjang dahan dan anakan dahan.
Suburnya tanah di Lencoh ini diperkirakan karena tanah vulkanis di sisi utara Gunung Merapi ini sudah berusia tua. Beda dengan sisi selatan yang dalam catatan sejarah kerap diterjang material letusan merapi. Kemungkinan tanah di Desa Lencoh ini adalah hasil letusan Gunung Merapi tahun 1006 (tahun seribu enam, bukan salah tulis 2006). Salah satu versi teori dari para ahli arkelologi, menyebutkan letusan Gunung Merapi tahun itu adalah yang menjadi alasan pindahnya peradaban Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Klinikkopi mengajari Pak Wondo cara bikin biji kopi jadi green bean yang siap dibikin kopi enak. “Yang penting harus petik merah. Petik satu per satu buah yang sudah merah,” kata Mas Pepeng ke Pak Wondo saat menjelaskan awal proses kopi yang baik. Hingga kemudian dilakukan beberapa kali kunjungan untuk memastikan proses dilakukan secara benar. Termasuk kunjungan dengan mengajak beberapa pegiat Sekolah Tani Muda–sebuah gerakan mengajak anak muda untuk bertani–untuk survei kemungkinan dilakukan penanaman pohon kopi yang lebih banyak.
Sabtu sore itu, rombongan datang berkumpul di rumah Pak Wondo. Tampak di depan rumah Pak Wondo sehamparan kopi yang sedang dijemur. Sudah 2 minggu ini aktivitas memetik kopi menjadi agenda baru keseharian Pak Wondo. Dia sudah mencoba mengajari warga lain untuk memetik kopi, tapi tak satu pun yang metik dengan cara benar. Masih banyak yang menyertakan biji kopi yang belum masak. Akhirnya dia sendiri yang berkeliling desa memetik kopi.
Panen Kopi Berjamaah
Agenda sore itu adalah memetik kopi. Beberapa peserta belum pernah melihat pohon kopi sebelumnya, termasuk juga 2 mahasiswa peneliti dari AS; Hope dan Anna. Awalnya mereka diajarin Pak Wondo cara memetik. Juga diperlihatkan proses pasca-panen yang ia lakukan hingga akhirnya menjadi green bean siap roasting. Selanjutnya mereka bergerilya seantero desa mencari pohon kopi. Sambil memetik, mereka juga berinteraksi dengan warga Lencoh.
Saat berinteraksi ini dimanfaatkan untuk menjelaskan cara metik kopi yang baik. Dan tak lupa untuk mengajak turut ke acara minum kopi pada malam harinya di Joglo Merapi–bangunan kantor pemerintahan yang dimaksudkan sebagai pusat informasi bagi wisatawan.
Tak semua pohon berada di lokasi yang nyaman untuk memetik. Ada yang di tepi tebing jalan ada pula yang di tepi kandang sapi. Sore itu hanya sekitar 3 kg red cherry bean yang dipanen. Ternyata panen kopi cukup melelahkan. Menjelang matahari terbenam mereka mengakhiri panen dan bergeser ke penginapan javaquest, tempat mereka nanti akan bermalam. Javaquest berbaik hati menampung kami gratis di 5 kamar seharga Rp 450 ribu per malam ini.
Rombongan peminum kopi ini tak bisa berlama-lama menikmati nyamannya javaquest. Sebelum jam 19.00 mereka harus sudah ada di Joglo Merapi untuk berkumpul dengan petani. Ada sekitar 10 petani yang malam itu turut bergabung di acara yang sangat akrab ini. Sengaja para peminum kopi ini tak mengirim undangan ke perangkat desa, supaya acaranya lebih cair dan tak terkesan formal. Semua datang hanya karena ajakan secara langsung tadi siang.
Di awal acara bapak-bapak tani ini disuguhi 3 macam jenis kopi; 2 jenis roasted bean yang dipanen dari desanya dan kopi hitam yang mudah ditemui di pasaran. 2 kopi dari Lencoh ini ada yang dipanen secara petik merah dan yang lain yang dipanen belum merah. Dan ternyata mereka dapat dengan mudah membedakannya. Kata Pak Sijam, salah satu warga Lencoh yang hadir, belum pernah ia merasakan kopi seenak ini.
“Dan yang lebih bikin saya bangga, kopi enak ini dipanen dari pohon kopi di desa saya. Dari pohon kopi yang sebelumnya kami abaikan dan terbengkalai,” kata Pak Sijam. Mendengar kata ini, peserta acara lain bertepuk tangan. Detik itu telah resmi diluncurkan Arabica Speciality Coffee, Single Origin: Lencoh.
Obrolan berlanjut mereka berlanjut ke bagaimana memperbanyak tanaman kopi di desa ini. Sebelumnya mereka hanya bertanam tanaman pangan. Padahal ada komoditas tanaman lain yang sangat cocok ditanam di sini dan memiliki nilai perdagangan yang lebih baik.
Bagi Klinikkopi kegiatan di Lencoh ini adalah tahap kedua dari edukasi yang kami lakukan. Tahap pertama adalah mengedukasi konsumen. Tahap ke dua adalah mengedukasi produsen. Harapannya akan lebih banyak orang Indonesia yang memiliki selera yang baik terhadap kopi. Sayang sekali bila di negeri yang menjadi salah satu pengekspor kopi, masyarakatnya lebih banyak minum kopi kwalitas memprihatinkan.
salam
Klinik Kopi
( Tulisan dari Mas tauhid, peminum kopi)