Ketika Pepeng mengajak saya melakukan perjalanan ke Sumatra Barat, saya mengiyakan dengan cepat. Setengah darah Minang di tubuh saya sangat rindu untuk pulang kampung. Meski kota yang akan kami kunjungi jauh dari tanah kelahiran ayah saya, tapi saya anggap ini adalah anjangsana ke rumah famili. Perasaan ini pun hadir ketika saya dibawa Pepeng mendatangi rumah Pak Suardi.
Kediaman Pak Suardi berada di balik rumah gedong yang berdiri megah di pinggir sawah. Mirip pun tidak, rumah Pak Suardi terlihat lebih sederhana. Layaknya rumah paman saya di pedalaman Pesisir Selatan, rumah Pak Suardi dibangun tanpa pagar, tanaman tumbuh subur namun tidak teratur, pintunya berada di segala penjuru, di muka rumah, di samping dan juga di belakang. Langkah Pepeng menuntun saya ke pintu bagian samping yang terbuka lebar. Kami menemukan Pak Suardi sedang sibuk memasak. Beliau mengenakan kaus dan sarung, tangannya mengapit rokok yang menyala. Disambutnya kami ramah.
Pak Suardi adalah orang penting di balik Kelompok Tani Selaras Alam. Beliau adalah motor penggerak, motivator, dan fasilitator. Dibangunnya Istana Rakyat sebagai tempat para petani berkumpul untuk berdiskusi, mendapatkan pelatihan, hingga menggelar acara penting seperti Pesta Kopi yang menjadi alasan Pepeng datang kembali ke Bukittinggi.
Awalnya Istana Rakyat dibangun jauh di ketinggian kaki gunung Marapi. Namun setelah berdiri sekian lama, pemilik tanahnya menarik biaya sewa, padahal Istana Rakyat didirikan untuk kegiatan sosial. Beliau geram, ditinggalkannya lokasi pertama, dibangunnya rumah-rumah panggung sederhana di tanah miliknya sendiri yang berada persis di gerbang desa, Istana Rakyat pun kembali berdiri untuk melayani petani.
Beliau jugalah yang mengumpulkan biji kopi dari para petani Selaras Alam untuk dijual. “Kondisi biji kopi dari petani itu masih harus disortir lagi, ada pula yang masih kurang kering dan harus dijemur lagi”, ia menjelaskan di antara hisapan rokoknya. “Siapa yang kerjakan pak?”, Pepeng menyambar. “Saya. Siapa lagi”, jawabnya sambil terkekeh.
Dibawanya kami ke Istana Rakyat, siang itu semua orang sibuk mempersiapkan acara Pesta Kopi. Tenda-tenda didirikan, ada yang menata meja, membuat papan petunjuk, membersihkan rumput, semua orang sibuk. Saya duduk di sebelah Pak Suardi sambil menyaksikan semua orang bekerja. Dihisapnya rokok dalam-dalam, “Semua orang itu perlu dihargai Vi, mereka butuh didengar. Dengan mendengar keinginan mereka dan menghargai kepentingan masing-masing, mereka akan mau melakukan apa yang kita minta dengan ikhlas. Mereka juga menjadi kompak karena setiap orang merasa diperhatikan”, ia menjelaskan seakan mengerti saya terheran dengan sikap semua orang yang patuh atas perintahnya sejak kehadiran kami di tempat ini. “Setiap Sabtu, saya ajak semua orang ke kebun di hutan sana untuk bersih-bersih, semua orang harus membawa makanan sendiri, minuman sendiri, rokoknya sendiri. Semua orang urus dirinya sendiri tapi kerjanya harus sama-sama”, dihisapnya lagi rokok dalam-dalam.
Faktanya, Pak Suardi memang disegani oleh semua orang di sini. Apa yang diucapkannya adalah titah yang dipatuhi. Istana Rakyat dan kerja bakti di kebun saban Sabtu hanya sebagian dari kemampuannya menggerakan petani Lasi untuk selalu kompak dan bersemangat. Beliau mendatangkan tenaga ahli sistem tanam organik untuk mengajarkan petani Selaras Alam cara bertani yang lebih baik, diadakannya pula pelatihan penanganan hama, termasuk menyediakan bantuan bibit dari pemda. Rumahnya selalu terbuka kapanpun bagi siapa saja yang datang untuk berdiskusi. Sisa hidupnya memang diabdikan untuk memajukan pertanian di Lasi, terutama kopi.
“Kami juga mau kopi Lasi ini dikenal banyak orang, supaya orang-orang tahu di Lasi ada banyak kopi”, ia melanjutkan. Pria kelahiran tahun 1943 ini memiliki banyak ide segar untuk memajukan Lasi dan memberdayakan masyarakatnya. Pesta Kopi adalah idenya, ia mengundang semua pihak untuk datang, pemerintah (dinas perkebunan), ahli pertanian, eksportir, budayawan, mahasiswa, petani kopi dari wilayah lainnya, pemilik kedai kopi, hingga masyarakat Lasi. “Di Pesta Kopi ini, saya mau semua orang mengetahui potensi kopi Nagari Lasi, merasakan kopi yang dibuat Pepeng nanti”, senyumnya terkembang.
Jelas sudah, hidup di usia tua bagi Pak Suardi adalah untuk mengabdi, bukan hanya untuk petani tapi juga kepada istri kesayangannya. Hanya Pak Suardi dan istrinya yang menetap di Bukittinggi, semua anaknya merantau ke ibukota. Beberapa tahun yang lalu, Ibu Suardi mengalami stroke, akibatnya memori kekiniannya hilang tak bersisa. Ibu hanya mengingat kenangan lama, tentang bapak, anak-anak dan keluarganya. Di rumah Pak Suardi dibantu satu asisten mengurus segalanya, dari mencuci, masak, dan mengurus rumah. Ibu tampak sehat, tapi beliau lebih banyak diam seakaan tengelam dalam dunianya sendiri. Pak Suardi bilang jika kesehatan Ibu berangsur membaik setelah rutin mengikuti terapi. “Ibu selalu ikut ke mana saya pergi Vi, termasuk ke hutan, ibu juga ikut kerja bakti”, Pak Suardi bertutur santai, “Saya harus sering ke Lasi supaya teman-teman petani di sana terus semangat. Ibu pun harus saya bawa, karena kalau dia ditinggal di rumah sendiri, bisa-bisa rumah terbakar nanti. Lupa kompor dimatikan, ditinggalnya tidur. Hahaha..”, tawanya pecah mengisi ruang, hidupnya seakan tanpa beban.
Tak lama sambalado dan rendang tersaji di atas karpet, nasi panas mengepul di antaranya. Kami dijamu layaknya sanak saudara, makan bersama sambil bertukar cerita. Rasanya seperti pulang ke kampung halaman yang selama ini dirindukan.
*tulisan ini dibuat sebagai bagian dari perjalanan Minang Coffee Trail bersama @klinikkopi
Teks & Foto oleh Viviana Asri / @pipiw307
Reblog dari https://post307.wordpress.com/2015/02/03/dijamu-pak-suardi/