Kopi

Mengenal Pak Nazril

December 10, 2015


Saya mengenal sosok Pak Nazril hanya melalui foto dan cerita yang bergulir dari mulut Pepeng. Tak pernah mengira bertemu dengannya langsung akan membuat hati ini dirundung banyak perasaan, bahagia dan sedih datang silih berganti.

Processed with VSCOcam with hb1 preset

Rumahnya berada di atas dataran tinggi di kaki gunung Marapi. Wajahnya berseri ketika kami datang di siang itu. Ia mengingat Pepeng dengan baik, lelaki dari tanah Jawa yang ia temui satu tahun lalu. Sedangkan ini adalah pertemuan pertama kami. Sambil ngobrol,  tangannya sibuk menumbuk Lasuang – alat tradisional untuk mengupas kulit kopi – beliau bercerita tentang banyak hal, kemudian mengajak kami melihat kebunnya.

Processed with VSCOcam with hb2 preset

Processed with VSCOcam with a5 preset

Di tahun 2007, Pak Nazril menjadi satu dari dua petani yang mengambil bibit pohon kopi gratis dari Dinas perkebunan Sumatera Barat. Tetangganya – Ibu Khadijah juga ikut menanam, namun jumlahnya sedikit. Satu setengah tahun kemudian, pohon kopi yang ia tanam akhirnya berbuah dan siap dipanen. Hasilnya memang tidak banyak, tapi Pak Nazril tak putus semangat untuk menanam pohon-pohon kopi lainnya hingga hari ini jumlahnya mencapai 150 pohon. Dengan modal dan lahan yang terbatas, 150 pohon kopi adalah harta dan hidupnya. Dari kebun beliaulah, biji kopi Nagari Lasi lahir untuk dikenal dan dinikmati banyak orang. Tidak berlebihan rasanya jika saya bilang beliau adalah salah satu orang yang berjasa membangkitkan budaya tanam kopi di Lasi Tuo.

Processed with VSCOcam with a5 preset

“Tidak ada lagi orang yang mau menanam kopi pada waktu itu. Saya saja yang tanam. Orang lain mengejek saya. Mereka tetap berladang seperti biasanya, saya terus menanam kopi”, ia bercerita sambil tangannya sibuk mencuci kopi yang sudah ditumbuknya tadi. Saya mendengarkan sambil membantunya memilih kulit-kulit merah yang mengambang di permukaan air. “Setiap saya ke pasar, orang-orang bertanya berapa banyak panen kali ini, saya bilang 50 kilo. Mereka bertanya lagi, berapa harga sekilonya, saya jawab lima puluh ribu”, tuturnya. Padahal kenyataannya, hasil panennya hanya setengah dari apa yang ia bilang ke orang-orang di pasar, harganya pun tidak semahal itu. Pak Nazril membual. Tujuannya agar orang-orang juga semangat dan mau ikut menanam kopi.

 

Processed with VSCOcam with a5 preset

Processed with VSCOcam with hb1 preset

“Banyak orang bilang ini itu, menyalahkan apa yang telah saya lakukan. Tapi mereka cuma bisa komentar, padahal mereka tanam kopi pun tidak, memberi saran juga tidak, saya muak mendengarnya”, intonasinya meninggi di ujung kalimat. “Anjing menggonggong, tapi kita harus jalan terus”, diberinya saya senyum terbaik.

Processed with VSCOcam with a5 preset

Perjalanan hidupnya membesarkan kopi di Nagari Lasi tidaklah mudah. Di saat semua orang mengejeknya, beliau tak patah arang menanam kopi. Ia percaya bahwa kopi akan memberikan kesejahteraan baginya dan keluarga. Waktunya makan siang tiba, beliau mengajak saya dan Pepeng masuk ke dalam rumah, “Anak saya yang pertama lulusan S1 ITB, S2-nya di Jepang, kini mengajar jadi dosen teknik di Universitas Andalas”, ujarnya bangga sambil menunjuk sebuah foto yang terbingkai sederhana di ruang tamu. “Anak kedua saya kerja di Batam, anak yang ketiga menetap di Lasi. Semuanya sudah menikah, kini saya cuma urus kopi saja”, lanjutnya.

 

Processed with VSCOcam with a5 preset

Dinding rumah Pak Nazril hanya terbuat dari kayu, tampilan luar dan dalamnya sederhana. tidak ada banyak perabot. Dapurnya masih menggunakan kayu bakar. Kamar mandinya sangat tradisional. Air bersih di tempat ini susah, mereka harus berjalan turun bukit untuk mengambil air. “Di bawah sana ada mata air. Untuk masak dan air minum, setiap hari kami ambil dari sana”, ujarnya.

Processed with VSCOcam with a5 preset

Kesulitannya memperoleh air bersih untuk mencuci biji kopi yang sudah dikupas adalah kendala lain dalam proses paska panen. Ketika Pepeng memperkenalkannya proses pengolahan biji kopi Natural dan Honey untuk mengatasi masalah ini, dengan semangat beliau menyambut,”Besok saya coba keduanya. Mana yang mudah itu yang saya pakai”.

Binar matanya belumlah pudar ketika Pepeng menjanjikan untuk membangun dome sebagai tempat penjemuran biji kopi. Matahari yang jarang muncul, tingkat kelembaban dan curah hujan tinggi adalah masalah lainnya yang perlu diatasi.  “Besok kita buat sama-sama Pak Nazril, supaya bapak tidak repot lagi harus angkat kopi kalau hujan turun”, Pepeng menjelaskan. Raut wajahnya bahagia. Ia mengganguk setuju.

Setelah makan siang, Pepeng menyeduhkan kopi Nagari Lasi yang ia bawa dari Yogyakarta. “Ini kopi dari kebun Pak Nazril, sudah saya rendang (di-roasting) di Yogya”. Wajahnya sumringah mendengar itu. “Bapak belum pernah minum kopi yang bapak tanam?”, saya bertanya. “Belum. Saya minumnya kopi bubuk, beli di pasar Lasi, sebungkus dua ribu lima ratus rupiah”, jawabnya santai. Sangat menyedihkan ketika tahu jika petani kopi tidak pernah menikmati kopi mereka sendiri. Ketidaktahuan untuk mengolah kopi adalah alasan kenapa semua biji kopinya dijual tak bersisa.

Processed with VSCOcam with m6 preset

Pepeng menuangkan air panas ke kopi yang baru saja digiling, aroma kopi menyeruak mengisi ruang. “Wangi..”, katanya. Gelas pertama pun disodorkan, ia menyeruput perlahan. Senyumnya merekah, “Ternyata kopi saya enak ya”, dilanjutkannya menyesap kopi dalam suka cita. Di antara setiap sesapan, senyumnya tak pernah hilang. Melihatnya membuat dada saya (dan mungkin juga Pepeng) dipenuhi kebahagiaan, kebahagian yang Pak Nazril tularkan diam-diam.

 

Tulisan ini dibuat sebagai bagian dari rangkaian perjalanan #MinangCoffee bersama @klinikkopi

Teks & Foto oleh Viviana Asri / @pipiw307

 

You Might Also Like

1 Comment

  • Reply nela gusti hasanah September 23, 2015 at 9:35 am

    Salam kenal mas.
    Saya bukan pecinta kopi, tapi sungguh saya menikmatinya. Bagus sekali paparan cerita perjalanannya. Saya lahir dan besar di Padang, Sumatera Barat, tapi baru tahu banyak tentang kopi, road to be coffee dan cita rasa kopi dari daerah saya sekarang, saat saya sudah berdomisili di Pulau Jawa. Terima kasih sekali telah berbagi pengalaman di sini. Semoga banyak manfaat bagi penikmat kopi lainnya. Nanti jika saya sempat berkunjung ke Yogya, saya akan mampir. Ditunggu cerita hangat lainnya dari belahan Indonesia. Salam hangat dari Cilacap, Jawa Tengah.

  • Leave a Reply